APAKAH ANDA SUDAH KURSUS KOMPUTER KALAU BELUM DAFTAR YA .....
SEGERA TEMUKAN KAMI DI DESA NIBUNG KOBA BANGKA TENGAH

PROFIL LEMBAGA

Foto saya
NIBUNG NO.247 KOBA, bangkatengah bangka belitung, Indonesia
Pendidikan merupakan proses dari suatu sistem yang harus dijalani oleh setiap individu untuk mencapai keberhasilan. Mekanisme pelaksanaan pendidikan akan berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan, jika antara penyedia jasa pendidikan dan penerimanya terjadi interaksi yang bersinergi.
KAMI ATAS NAMA INSTRUKTUR LEMBAGA KURSUS DAN PELATIHAN TASIAH KOMPUTER MENGUCAPKAN SELAMAT KEPADA SAUDARA YANG TELAH BERHASILMENYELSAIKAN KURSUS PROGRAM KOMPUTER.SEMOGA ILMU YANG SAUDARA PEROLEH DAPAT MEMBAWA MANFAAT BAGI SAUDARA, ORANG TUA,MASYARAKAT, BANGSA, NEGARA DAN AGAMA.AMIN

PILIHAN PASTI SETIAP GENERASI

DOWNLOAD

download[4]

Brosur

Brosur
brosur 2

Brosur

Brosur
Brosur 1

Pengikut

PROMOSI



Artikel

Minggu, 26 Juni 2011

Sejarah dan Perkembangan Dangdut


Sejarah dan Perkembangan Dangdut
Mendengar kata dangdut mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita, alunan musik dan lantunan suara biduan dangdut sering kita dengarkan. Dangdut sebagai lagu rakyat/folk song telah masuk ke seluruh pelosok tanah air, tidak hanya di Indonesia bahkan dangdut tersebar hingga manca negara. Namun sedikit di antara kita yang paham sejarah dangdut itu sendiri (termasuk aku, :D ). Berikut ini sekilas sejarah dan perkembangannya dangdut dari mulai lahirnya hingga kini. Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla/gendang) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.
Berikut adalah nama-nama beberapa tokoh penyanyi dan pencipta lagu dangdut populer yang dibagi dalam tiga kelompok kronologis, sesuai dengan perkembangan musik dangdut:
Pra-1970-an : Husein Bawafie, Munif Bahaswan, Ellya, M. Mashabi, Johana Satar, Hasnah Tahar.
1970-an : A. Rafiq, Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, Mansyur S., Mukhsin Alatas, Herlina Effendi, Reynold Panggabean, Camelia Malik, Ida Laila.
Setelah 1970-an : Vetty Vera, Nur Halimah, Hamdan ATT, Meggy Zakaria, Iis Dahlia, Itje Trisnawati, Evi Tamala, Ikke Nurjanah, Kristina, Cici Paramida, Dewi Persik, Inul Daratista.
Dangdut dalam budaya kontemporer Indonesia
Oleh Rhoma Irama, dangdut dijadikan sebagai alat berdakwah, yang jelas terlihat dari lirik-lirik lagu ciptaannya dan dinyatakan sendiri olehnya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu polemik besar kebudayaan di Indonesia pada tahun 2003 akibat protesnya terhadap gaya panggung penyanyi dangdut dari Jawa Timur, Inul Daratista, dengan goyang ngebor-nya yang dicap dekaden serta "merusak moral".
Jauh sebelumnya, dangdut juga telah mengundang perdebatan dan berakhir dengan pelarangan panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Perdebatan muncul lagi-lagi akibat gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu "terbuka" dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan.
Dangdut memang disepakati banyak kalangan sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas dari nafas ini.
Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan dirinya sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui di berbagai kota.
Interaksi dengan musik lain
Dangdut sangat elastis dalam menghadapi dan mempengaruhi bentuk musik yang lain. Lagu-lagu barat populer pada tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre musik gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus cara bermusik dangdut. Hal yang sama terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis pada saat ini adalah bentuk campurannya: tarlingdut.
Musik rock, pop, disko, house bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Demikian pula yang terjadi dengan musik-musik daerah seperti jaipongan, degung, tarling, keroncong, langgam Jawa (dikenal sebagai suatu bentuk musik campur sari yang dinamakan congdut, dengan tokohnya Didi Kempot), atau zapin.
Tidak hanya tarlingdut dan campursari saja yang mendapat pengaruh musik dangdut, sekitar tahun 2000-an muncul satu genre musik dangdut yaitu dangdut koplo. Konon genre dangdut koplo hadir dari daerah Jawa Timur. Hal ini ditandai dengan bermunculannya sejumlah OM (Orkes Melayu) yang mengusung dangdut koplo dalam setiap kali show, diantaranya adalah OM Monata, OM New Pallapa, OM Palapa, OM Sera, dan masih banyak lagi yang lainnya.Mudahnya dangdut menerima unsur 'asing' menjadikannya rentan terhadap bentuk-bentuk pembajakan, seperti yang banyak terjadi terhadap lagu-lagu dari film ala Bollywood dan lagu-lagu latin. Kopi Dangdut, misalnya, adalah "bajakan" lagu yang populer dari Venezuela.
Bangunan lagu
Meskipun lagu-lagu dangdut dapat menerima berbagai unsur musik lain secara mudah, bangunan sebagian besar lagu dangdut sangat konservatif, sebagian besar tersusun dari satuan delapan birama 4/4. Jarang sekali ditemukan lagu dangdut dengan birama 3/4, kecuali pada lagu-lagu masa Melayu Deli (contoh: Burung Nuri). Lagu dangdut juga miskin improvisasi, baik melodi maupun harmoni. Sebagai musik pengiring tarian, dangdut sangat mengandalkan ketukan tabla dan sinkop.
Intro dapat berupa vokal tanpa iringan atau berupa permainan seruling, selebihnya merupakan permainan gitar atau mandolin. Panjang intro dapat mencapai delapan birama.
Bagian awal tersusun dari delapan birama, dengan atau tanpa pengulangan. Jika terdapat pengulangan, dapat disela dengan suatu baris permainan jeda. Bagian ini biasanya berlirik pengantar tentang isi lagu, situasi yang dihadapi sang penyanyi.
Lagu dangdut standar tidak memiliki refrain, namun memiliki bagian kedua dengan bangunan melodi yang berbeda dengan bagian pertama. Sebelum memasuki bagian kedua biasanya terdapat dua kali delapan birama jeda tanpa lirik. Bagian kedua biasanya sepanjang dari dua kali delapan birama dengan disela satu baris jeda tanpa lirik. Di akhir bagian kedua kadang-kadang terdapat koda sepanjang empat birama. Lirik bagian kedua biasanya berisi konsekuensi dari situasi yang digambarkan bagian pertama atau tindakan yang diambil si penyanyi untuk menjawab situasi itu.
Setelah bagian kedua, lagu diulang penuh dari awal hingga akhir. Lagu dangdut diakhiri pada pengulangan bagian pertama. Jarang sekali lagu dangdut diakhiri dengan fade away.

Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik yang berkembang di Indonesia. Bentuk musik ini berakar dari musik Melayu pada tahun 1940-an. Dalam evolusi menuju bentuk kontemporer sekarang masuk pengaruh unsur-unsur musik India (terutama dari penggunaan tabla) dan Arab (pada cengkok dan harmonisasi). Perubahan arus politik Indonesia di akhir tahun 1960-an membuka masuknya pengaruh musik barat yang kuat dengan masuknya penggunaan gitar listrik dan juga bentuk pemasarannya. Sejak tahun 1970-an dangdut boleh dikatakan telah matang dalam bentuknya yang kontemporer. Sebagai musik populer, dangdut sangat terbuka terhadap pengaruh bentuk musik lain, mulai dari keroncong, langgam, degung, gambus, rock, pop, bahkan house music.
Penyebutan nama "dangdut" merupakan
onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut gendang saja) yang khas dan didominasi oleh bunyi dang dan ndut. Nama ini sebetulnya adalah sebutan sinis dalam sebuah artikel majalah awal 1970-an bagi bentuk musik melayu yang sangat populer di kalangan masyarakat kelas pekerja saat itu.

Dangdut kontemporer telah berbeda dari akarnya, musik Melayu, meskipun orang masih dapat merasakan sentuhannya.Orkes Melayu (biasa disingkat OM, sebutan yang masih sering dipakai untuk suatu grup musik dangdut) yang asli menggunakan alat musik seperti
gitar akustik, akordeon, rebana, gambus, dan suling, bahkan gong. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan lagu-lagu Melayu Deli dari Sumatera (sekitar Medan). Pada masa ini mulai masuk eksperimen masuknya unsur India dalam musik Melayu. Perkembangan dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-grup ini. Dari masa ini dapat dicatat nama-nama seperti P. Ramlee (dari Malaya), Said Effendi (dengan lagu Seroja), Ellya (dengan gaya panggung seperti penari India, sang pencipta Boneka dari India), Husein Bawafie (salah seorang penulis lagu Ratapan Anak Tiri), Munif Bahaswan (pencipta Beban Asmara), serta M. Mashabi (pencipta skor film "Ratapan Anak Tiri" yang sangatpopulerditahun1970-an).
Gaya bermusik masa ini masih terus bertahan hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh
Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S., Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus di masa jayanya.
Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan politik Indonesia yang ramah terhadap budaya Barat, memasukkan alat-alat musik modern Barat seperti
gitar listrik, organ elektrik, perkusi, terompet, saksofon, obo, dan lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya. Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan gitar) sangat kental terasa pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang 'pertempuran' bagi musik dangdut dan musik rock dalam merebut pasar musik Indonesia, hingga pernah diadakan konser 'duel' antara Soneta Group dan God Bless. Praktis sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola bisnis bermusiknya.
Pada paruh akhir
dekade 1970-an juga berkembang variasi "dangdut humor" yang dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes ini, yang berangkat dari gaya musik melayu deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) dan, pada awal tahun 2000-an, oleh Orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB).
DANGDUT DALAM BUDAYA KONTEMPORER INDONESIA

Oleh Rhoma Irama, dangdut dijadikan sebagai alat berdakwah, yang jelas terlihat dari lirik-lirik lagu ciptaannya dan dinyatakan sendiri olehnya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu polemik besar kebudayaan di Indonesia pada tahun 2003 akibat protesnya terhadap gaya panggung penyanyi dangdut dari Jawa Timur, Inul Daratista, dengan goyang ngebor-nya yang dicap dekaden serta “merusak moral”.
 
Jauh sebelumnya, dangdut juga telah mengundang perdebatan dan berakhir dengan pelarangan panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Perdebatan muncul lagi-lagi akibat gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu “terbuka” dan berselera rendah, sehingga tidak sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan.
Dangdut memang disepakati banyak kalangan sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas dari nafas ini.
Panggung kampanye partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan kepopuleran dangdut untuk menarik massa. Isu dangdut sebagai alat politik juga menyeruak ketika Basofi Sudirman, pada saat itu sebagai fungsionaris Golkar, menyanyi lagu dangdut.
Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut serta meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang menyatakan dirinya sebagai “radio dangdut” juga mudah ditemui di berbagai kota.



INTERAKSI DENGAN MUSIK LAIN
Dangdut sangat elastis dalam menghadapi dan mempengaruhi bentuk musik yang lain. Lagu-lagu barat populer pada tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre musik gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut dalam arus cara bermusik dangdut. Hal yang sama terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis pada saat ini adalah bentuk campurannya: tarlingdut.
Musik rock, pop, disko, house bersenyawa dengan baik dalam musik dangdut. Demikian pula yang terjadi dengan musik-musik daerah seperti jaipongan, degung, tarling, keroncong, langgam Jawa (dikenal sebagai suatu bentuk musik campur sari yang dinamakan congdut, dengan tokohnya Didi Kempot), atau zapin.
Mudahnya dangdut menerima unsur ‘asing’ menjadikannya rentan terhadap bentuk-bentuk pembajakan, seperti yang banyak terjadi terhadap lagu-lagu dari film ala Bollywood dan lagu-lagu latin. Kopi Dangdut, misalnya, adalah “bajakan” lagu yang populer dari Venezuela.
BANGUNAN LAGU
Meskipun lagu-lagu dangdut dapat menerima berbagai unsur musik lain secara mudah, bangunan sebagian besar lagu dangdut sangat konservatif, sebagian besar tersusun dari satuan delapan birama 4/4. Jarang sekali ditemukan lagu dangdut dengan birama 3/4, kecuali pada lagu-lagu masa Melayu Deli (contoh: Burung Nuri). Lagu dangdut juga miskin improvisasi, baik melodi maupun harmoni. Sebagai musik pengiring tarian, dangdut sangat mengandalkan ketukan tabla dan sinkop.
Bentuk bangunan lagu dangdut secara umum adalah: A - A - B -A,
namun dalam aplikasi kebanyakan memiliki urutan menjadi seperti ini:
Intro - A - A - Interlude - B (Reffrain) - A - Interlude - B (Reffrain) - A
Intro dapat berupa vokal tanpa iringan atau berupa permainan seruling, selebihnya merupakan permainan gitar atau mandolin. Panjang intro dapat mencapai delapan birama.
Bagian awal tersusun dari delapan birama, dengan atau tanpa pengulangan. Jika terdapat pengulangan, dapat disela dengan suatu baris permainan jeda (interlude). Bagian ini biasanya berlirik pengantar tentang isi lagu, situasi yang dihadapi sang penyanyi.
undefined

Gendang atau tabla, salah satu alat musik utama dangdut
Lagu dangdut standar tidak memiliki refrain, namun memiliki bagian kedua dengan bangunan melodi yang berbeda dengan bagian pertama. Sebelum memasuki bagian kedua biasanya terdapat dua kali delapan birama jeda tanpa lirik. Bagian kedua biasanya sepanjang dari dua kali delapan birama dengan disela satu baris jeda tanpa lirik. Di akhir bagian kedua kadang-kadang terdapat koda sepanjang empat birama. Lirik bagian kedua biasanya berisi konsekuensi dari situasi yang digambarkan bagian pertama atau tindakan yang diambil si penyanyi untuk menjawab situasi itu.
Setelah bagian kedua, lagu diulang penuh dari awal hingga akhir. Lagu dangdut diakhiri pada pengulangan bagian pertama. Jarang sekali lagu dangdut diakhiri dengan fade away
Setelah bagian kedua, lagu diulang penuh dari awal hingga akhir. Lagu dangdut diakhiri pada pengulangan bagian pertama. Jarang sekali lagu dangdut diakhiri dengan fade away.

KISAH INDONESIA LEWAT "GOYANG DANGDUT"

Analisis tentang musik dangdut tak sesemarak kontroversi yang menyertai beberapa pertunjukannya. Hingga kini baru sedikit penerbitan yang menyoroti aspek-aspek musik yang disebut paling populer di Indonesia ini. Di antara yang secuil itu adalah Dangdut Stories karya Andrew N Weintraub, profesor musik dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat. Seperti dikatakan Andrew, meski sudah populer, dangdut masih jarang meraih perhatian kritis (hal 13). Sejak pertama muncul dan dikenal lewat pemunculan Ellya Khadam, bintang pada era 60-an, dengan hitnya ”Boneka dari India”, baru ada beberapa kajian akademis tentang dangdut, di antaranya dari disiplin sejarah (Frederick 1982; Lockard 1998), musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), dan kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000; Browne 2000).

Berbeda dari semua kajian tersebut, Dangdut Stories merupakan kajian musikologis pertama yang menganalisis perkembangan stilistika musik dangdut. Dengan memanfaatkan gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu, seperti diyakini penulisnya, dangdut bisa mengartikulasikan pergulatan simbolis atas makna dalam realitas kebudayaan Indonesia.

”Prisma” masyarakat

Dalam sebuah artikel, sejarawan William H Frederick (1982) menyatakan bahwa dangdut bisa merepresentasikan ”prisma yang peka dan bermanfaat untuk melihat masyarakat Indonesia”. Mantan Menteri Sekretaris Negara Mooerdiono pada pertengahan 1990-an menyatakan, ”Dangdut membuat kita lebih empati satu sama lain.” Sementara Emha Ainun Nadjib pada awal 2000-an menyatakan, ”Pantat Inul adalah wajah kita semua.” Moerdiono mewakili pandangan dari ”atas” (negara) yang mengidealkan peran dangdut dalam budaya nasional. Emha mewakili pandang dari ”bawah” (rakyat) mencermati realitas sosial yang tercermin lewat dangdut.

Namun, menurut Weintraub, dangdut tidak hanya refleksi yang hidup dari budaya dan politik Indonesia, tetapi juga sebagai praktik ekonomi, politik, dan ideologis yang membantu membentuk gagasan masyarakat mengenai kelas, jender, dan etnisitas dalam negara- bangsa Indonesia modern. Itulah sebabnya, Goenawan Mohamad memuji karya Weintraub karena kontribusinya dalam perdebatan tentang konstruksi identitas nasional lewat musik yang sungguh orisinal. Musik dangdut adalah bagian dari formasi diskursif tentang memiliki komunitas nasional. Dan, membayangkan diri kita sebagai bagian dari komunitas.

Sebagai etnomusikolog, analisis Andrew bertumpu pada kecermatan pengamatan dan kekayaan data yang dihimpun dalam studi lapangannya di Indonesia antara tahun 2005 dan 2007. Dia mewawancarai musisi, komposer, pengaransemen, produser, dan penggemar musik dangdut; menganalisis media cetak populer; belajar dengan musisi; melakukan analisis musikologis; dan pengamatan terlibat. Menggunakan pendekatan antardisiplin yang memadukan analisis etnomusikologis, antropologi media, dan kajian budaya, pendiri grup ”Dangdut Cowboys” ini menghubungkan properti estetik dan penggunaan efek musik dangdut dengan kondisi sosial dan material Indonesia modern. Bagi Weintraub, lagu-lagu dangdut itu sendiri membentuk cerita-cerita (hal 16) tentang Indonesia. Cerita musik dangdut dibingkai dalam sembilan bab yang menggambarkan perkembangan dangdut dari tahun 1945 hinggakini.

Pada Bab 3, Weintraub mengisahkan generasi pertama bintang dangdut, seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, dan A Rafik, untuk mengilustrasikan hubungan antara orkes Melayu dan dangdut selama 1950-an. Pada Bab 4, konstruksi makna ”rakyat” dalam dangdut menjadi sorotan. Artikulasi dangdut dan rakyat bekerja dalam tiga level: (1) dangdut adalah rakyat; (2) dangdut untuk rakyat; dan (3) dangdut sebagai rakyat. Figur ”raja dangdut” Rhoma Irama adalah representasi dari pandangan ”dangdut untuk rakyat”. Mulai dari gaya musik hingga penggemar Rhoma dikupas secara cermat. Bab 5, mengisahkan ekspansi dan perluasan pasar musik dangdut menjadi ’musik nasional’ yang memunculkan genre, seperti ”sweet dangdut”, ”pop dangdut”, ”rock dangdut”, dan ”Mandarin dangdut”, disertai grup dan penyanyipendukungnya.

Selanjutnya, dikisahkan pula bahwa berkat televisi pada 1990-an, bangsa ini menjadi ”bangsa dangdut”. Televisi membawa dangdut ke ruang keluarga kelas menengah-atas sehingga mengangkat popularitas dangdut dan penyanyinya, dan bahkan mulai go international (bab 6). Tetapi, kemudian dangdut mulai terlibat dalam wacana moralitas dan bentuk Islam yang semakin terpolitisasi dalam kontroversi goyang ngebor yang melejitkan nama Inul Daratista (bab 7). Perkembangan lain yang menarik, munculnya goyang ”dangdut daerah” disorot dalam bab 8.

Sepanjang karyanya, Weintraub menafsirkan dangdut sebagai representasi dan formasi diskursif (Foucault 1972). Tetapi, cerita tentang dangdut yang ditampilkan Dangdut Stories sudah tentu dibatasi oleh pengalaman hidup penulisnya. Posisi subyek sebagai pria heteroseksual kulit putih, warga negara AS, staf universitas, musisi, dan penggemar musik tak lepas dari bias. Pembaca kritis bisa jadi memiliki perspektif berbeda yang dibentuk oleh posisi ideologis dan kepentingan personalnya sendiri. Sebagaimana diakui Weintraub, setiap orang memiliki cerita untuk dikisahkan meski mungkin tak seorang pun pernah mendengarnya. Cerita-cerita itulah yang dinarasikan dalam karyanya yang penting bagi pengkaji budaya dan musik ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar